Perdagangan di Nusantara sebelum Era Klolonialisme-Imperialisme Eropa

 Menurut Poesponegoro dan Notosusanto (1993), pada masa praaksara, penduduk Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang tangguh yang sanggup mengarungi lautan lepas dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan, Pusat-pusat perdagangan tumbuh pesat di pesisir Sumatera dan Jawa. Tradisi berlayar dan berdagang itu dibawa oleh nenek moyang kita dari Yunan selatan dan Vietnam (wilayah Dong Son). Barang-barang yang diperdagangkan antara lain nekara, tembikar, serta alat-alat perhiasan. Tidak mengherankan saat ini sisa-sisa peninggalan barang-barang tersebut masih dapat dilihat di berbagai wilayah di Nusantara.

 Aktivitas perdagangan kemudian memasuki babak baru pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha dan semakin berkembang pesat lagi pada era kerajaan-kerajaan Islam. Kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Singasari dan Majapahit, misalnya, dikenal sebagai kerajaan yang banyak melakukan ekspedisi tidak saja untuk tujuan politik berupa penaklukan tetapi juga untuk tujuan ekonomi berupa perdagangan. Pada masa ini, kerajaan-kerajaan Nusantara banyak berhubungan dengan India, Cina, Tanah Genting Kra, Pahang, Vietnam, dan Thailand. Wilayah kekuasaan Majapahit bahkan menjangkau sampai ke Thailand. Pernikahan raja Majapahit Brawijaya V dengan putri Champa (Cina) merupakan salah satu contoh hasil dari kontak dengan dunia luar itu.

 Di Nusantara sendiri, Kerajaan Singasari tercatat telah mengenal Kepulauan Maluku sebagai penghasil rempah-rempah dan karena itu aktif berlayar ke tempat tersebut. Kemungkinan besar, rempah-rempah tersebut kemudian dijual ke kerajaan-kerajaan di Sumatera atau ke saudagar-saudagar asing dari India, Cina, dan Arab. Kita tentu masih ingat bahwa salah satu hipotesis populer tentang sebab runtuhnya Kerajaan Sriwijaya adalah serangan Kerajaan Colamandala dari India pada tahun 1023 M, yang diperkirakan dilatarbelakangi oleh adanya persaingan perdagangan.

 Kelak, saudagar-saudagar Cina dan Arab lambat laun mulai mengenal keberadaan Maluku sebagai pusat rempah-rempah dan berlayar sendiri ke tempat tersebut. J.A. van Der Chijs dalam bukunya De vestiging van het Nederlandsche gezag over de Bandaeilanden (1599-1621) (1886) menyebutkan, kapal-kapal Cina sudah berada di Banda Neira kurang lebih 600 tahun sebelum kedatangan Portugis (1521). Itu berarti, sekitar tahun 1000 M.

 Saudagar saudagar Cina, Arab, dan Melayu membeli rempah-rempah dari Banda Neira, dikapalkan ke Teluk Persia, diangkut ke kawasan Laut Tengah, lalu didistribusikan ke seluruh Eropa melalui Konstantinopel, Venesia, dan Genoa.

Comments

Popular posts from this blog

Jalan Sutra (Silk Road)

Ilmu Falak (Astronomi) dan Pelayaran